Seorang pendeta gereja rumah menceritakan perpindahannya dari pedesaan ke kota besar pada tahun 1990-an, masa di mana Tiongkok mengalami urbanisasi dan perubahan besar-besaran. Dari mempersatukan keluarga-keluarga hingga melayani para pengemis, ia berbagi pergumulannya untuk mengembangkan sebuah teologi dan penerapannya terkait mengasihi kota, meskipun ia menyaksikan kota itu dalam kondisi terburuknya dan mengalami penganiayaan yang semakin meningkat.

Seorang pendeta gereja rumah mengenang pilihan generasi mereka saat dipaksa memilih antara kesetiaan kepada negara dan kesetiaan kepada Tuhan pada tahun 1950. Dalam banyak hal, mereka tidak siap menghadapi ujian yang diberikan, namun para orang kudus yang mendirikan gereja-gereja rumah di Tiongkok ini akhirnya memahami jalan mereka sebagai “jalan salib.”

Ketika Paulus menulis kepada jemaatnya dari penjara, kita melihat seorang gembala jemaat yang telah kehilangan segala sesuatu yang dunia tawarkan, tetapi melalui penderitaanya ia telah mendapatkan kemuliaan sejati. Paulus menunjukkan hati seorang gembala dan jenis pelayanan yang diminta oleh Allah. Dalam konteks Tiongkok di bawah kepemimpinan XI Jinping, di mana para pendeta yang setia lebih memilih untuk dipenjara daripada meraih kesuksesan duniawi, kata-kata Paulus ini menjadi sangat relevan.

Dalam wawancara ini, yang awalnya direkam dalam bahasa Mandarin di Singapore Bible College pada tahun 2024, Dr. Ximian (Simeon) Xu berbagi tentang dirinya yang bertumbuh dari gereja rumah yang pietis, juga latar belakang keilmuannya, dan bagaimana ia secara unik memakai kariernya di bidang teknik dan teologi untuk membantu kita memahami AI serta memandu pengembangan etika AI, dengan aplikasi langsung bagi gereja.

Meninggalkan Tiongkok adalah keputusan yang sangat sulit bagi para pemimpin gereja rumah. Banyak dari antara mereka yang telah menghadapi tekanan yang semakin meningkat dan terkadang dipenjara di negara asalnya. Renungan tentang Yeremia 29 ini mewakili kepedihan hati mereka, dan juga keinginan mereka untuk mengikut Tuhan dengan setia di rumah mereka yang baru. 

Setelah kebijakan Zero Covid (Covid Nol) dan meningkatnya penganiayaan dari pemerintah, generasi kedua di gereja rumah menemukan apa artinya dianiaya dan diuji. Ketika segala sesuatunya menjadi sangat sulit, di manakah kita dapat menemukan keberanian untuk menghadapi ketakutan kita? Khotbah yang menyentuh hati dari seorang pendeta muda di Tiongkok ini membahas tentang keinginan sang murid, yaitu Markus, untuk melarikan diri dan bagaimana ia menemukan keselamatan yang lebih besar di dalam kelemahannya.

Dalam konteks di mana orang-orang Kristen dipaksa untuk berada di bawah pengawasan pemerintah Tiongkok atau menghadapi penganiayaan, Wang Yi merenungkan apa artinya menjadi seorang patriot Kristen yang mengasihi negaranya dan berjuang untuk kemajuan negaranya dibanding menjadi seorang nasionalis yang mengidolakan bangsanya.

Kami mendorong Anda untuk menggunakan dan membagikan materi ini secara bebas—tetapi harap tidak memungut biaya, mengubah susunan kata, atau menghapus informasi hak cipta.

Bagi seorang pemimpin gereja rumah, ada banyak alasan untuk mengejar pendidikan seminari di Barat. Namun, mungkin akan mengejutkan betapa banyak seminari di Barat yang telah dipengaruhi oleh budaya sekuler pasca-Pencerahan.

Artikel blog dari seorang pemimpin gereja rumah dan mantan mahasiswa seminari ini dengan jujur menggambarkan bahaya pergi ke luar negeri untuk mendapatkan gelar seminari.

Pendidikan teologi bukan hanya transmisi pengetahuan dan perolehan keterampilan, melainkan juga pembentukan manusia dan transformasi kehidupan. Dalam tulisan ini, seorang pemimpin wanita membahas tantangan-tantangan yang dihadapi seminari-seminari gereja rumah dan memberikan saran-saran tentang bagaimana seminari-seminari dapat mempersiapkan para pemimpin dengan lebih baik dalam konteks apa pun.

Pasal-pasal pertama dan terakhir dari Alkitab memberitahukan kepada kita tentang kehendak dan rencana Allah bagi umat manusia, dan penyempurnaan dari rencana ini dalam Yerusalem yang baru. Hal yang telah dimulai di dalam taman akan disempurnakan di dalam gereja. Pasal-pasal ini juga membe- rikan kita pengharapan dalam ketegangan eskatologis di zaman ini.

Di manakah Allah di tengah para penguasa yang jahat, perbudakan, dan genosida? Dia tetap berada di atas takhta-Nya, memelihara dan melindungi umat-Nya dengan cara-cara yang tidak selalu dapat kita lihat. Renungan tentang kedaulatan Tuhan selama perbudakan Israel di Mesir ini ditujukan kepada gereja rumah di masa pandemi dan penganiayaan, tetapi juga relevan terhadap banyak krisis yang kita hadapi di dunia saat ini. 

Henokh berjalan bersama Allah bahkan ketika ia menubuatkan penghakiman-Nya. Kita sering kali mengorbankan iman kita ketika kita menghadapi kesulitan, atau tergoda dengan kenyamanan materi ketika mendapatkan pekerjaan atau memiliki anak. Satu-satunya penghiburan kita sebagai orang percaya adalah keselamatan, dan benar-benar berjalan bersama Allah berarti mengutamakan Dia, mengatasi segala rintangan dan godaan lainnya.

Preferensi terhadap anak laki-laki daripada anak perempuan telah menyebabkan penderitaan yang tak terukur bagi para wanita di Tiongkok. Namun hal ini juga telah menyebabkan beban yang besar bagi para pria, yang memikul harapan dan ekspektasi dari seluruh keluarga. Injil membebaskan kita dari beban-beban ini, menunjuk kepada Anak yang sejati yang memenuhi semua harapan kita.

Alkitab dengan sengaja menggunakan—dan menumbangkan—istilah-istilah politik seperti “tentara,” “kerajaan,” dan “keadilan.” Penting bagi kita untuk memahami gereja sebagai sebuah tatanan dunia baru yang menggantikan dan menantang semua politik duniawi, sehingga kita sendiri tidak menjadi agen-agen dari tujuan-tujuan duniawi dan bukannya menjadi umat Allah.

Ditulis oleh seorang penatua awam dari sebuah gereja Baptis di Tiongkok, yang telah mempelajari pemikiran politik Barat, eksposisi ini menawarkan sebuah renungan yang sangat alkitabiah dan kontra-budaya tentang politik duniawi.

Seorang pendeta gereja rumah menggambarkan hubungannya dengan novel klasik Tiongkok, Journey to the West (Perjalanan menuju Barat), sebagai metafora untuk pandangan hidupnya yang terus berubah.

Dari idealisme Komunisme hingga dekonstruksinya sendiri, ia berargumen bahwa pandangan hidup yang nihilistik dari generasi ini pada akhirnya akan mengecewakan mereka, dan ia menyajikan jalan keluar dari tragedi-tragedi dalam hidup kita melalui Injil.

Ketika semua sistem pendukung eksternal gereja telah hilang atau berkurang, kita harus bertanya: Atas sumber daya apa gereja berdiri? Sumber daya apa yang diandalkan oleh para pendeta?

Persatuan dengan Kristus adalah jawabannya. Tulisan ini akan membahas mengenai apa yang dapat kita pelajari dari gereja rumah Tionghoa dalam bertahan menghadapi penganiayaan dan kesulitan.